Newflash

Kenangan Rumah ’Dua Wajah’

Rumah Kapitan Cina berusia 100 tahun lebih di Tangerang digusur dan dihancurkan. Padahal bangunan ini merupakan bagian sejarah asal-usul kawasan Karawaci pada awal abad ke-19, juga sejarah peranakan Tionghoa di daerah itu. Kini sedang ada usaha bersama menghidupkan kembali rumah kongsi perkebunan yang memiliki gaya Hindia dan Cina itu.

RUMAH dengan gaya arsitektur ”dua wajah” itu tak bisa lagi dinikmati di tempat aslinya. Country house seluas 4.000 meter persegi di atas lahan dua hektare milik Kapitein der Chineezen (Kapitan Cina) Oey Djie San Sia di Tangerang tinggal sisa-sisa saja. Padahal bangunan itu merupakan satu-satunya rumah perkebunan bergaya arsitektur Tionghoa-Indisch di sini.

Wajah pertama rumah—yang pernah megah—itu bisa dilihat dari arah Jalan Teuku Umar, Karawaci, dan tampak masih utuh bergaya Hindia Belanda (Indisch): campuran arsitektur gaya Belanda dengan unsur lokal dan negeri berhawa tropis. Terlihat atap joglo Jawa yang mulai reyot ditopang pilar kokoh tuscan kuning gading ala Yunani. Juga jendela krepyak berukuran besar dengan penyangga besi tempa berukuran raksasa, khas Eropa Barat. Rumah itu tertutup rapat, sudah tak lagi berpenghuni sejak awal Desember 2008. Menurut Marjaya, 65 tahun, bekas pegawai perkebunan karet milik anak-cucu Oey Djie, tempat itu dulu merupakan aula untuk pertemuan dan dansa.

Menyusuri jalan samping ke arah Sungai Cisadane, tampaklah wajah satunya: rumah gaya Tionghoa, yang menghadap ke sungai. Gerbang besar pintu masuk rumah itu, menurut Ook, 50 tahun, warga setempat, dulu terbuat dari besi tinggi ditopang dengan pilar batu besar. Penyangga batunya digambarkan Ook sama besar dengan lima orang dewasa yang melingkar bergandengan tangan.

Di lokasi bekas bangunan bergaya Tionghoa itulah dua arsitek dari Kantor Arsitek Budi Lim Associates dan dua mahasiswa magang tampak mencatat dan mengukur-ukur bangunan yang tersisa. Memang masih tampak dari samping kanan sisa wuwungan ciri khas Cina. Selain beberapa dinding, kayu-kayu jati dan ulin, serta atap rumah dengan ukiran Cina di bagian depan, bagian lain sudah hancur berantakan. Untuk yang tak mengetahui sejarahnya, rumah itu seperti sekadar rumah lama yang hancur, teronggok, dan tak terawat.

Ya, rumah Kapitan Cina itu memang memiliki sejarah panjang, terutama tentang penyebaran Cina di Indonesia. Pemiliknya, Oey Djie, diangkat menjadi Kapitan Cina pada November 1907, menggantikan Oey Giok Koen. Saat itu Oey Djie menjabat wakil ketua perkumpulan kaum Tionghoa peranakan, Tiong Hoa Hwee Koan, cabang Tangerang.

Nah, Oey Djie menempati rumah kakek buyutnya. Menurut ahli budaya Tionghoa peranakan, David Kwa, dari gaya bangunannya, rumah yang ditempati Oey Djie itu dibangun pada akhir abad ke-18. ”Dua gaya ini seolah bertolak belakang, tapi digabungkan. Ini menunjukkan pemiliknya orang Tionghoa yang berpendidikan Belanda,” ujarnya.

Bangunan rumah tinggal bergaya Cina ini aslinya berciri arsitektur Fujian Selatan (Minnan). Rumah tinggal ini terdiri atas bangunan utama di tengah, diapit dua bangunan di kiri dan kanan, serta bangunan belakang yang lebih tinggi dengan sebuah paseban atau pendapa di depannya. Gaya bubungan atapnya mirip kelenteng, seperti busur dengan ujung kiri dan kanannya mencuat ke atas, masing-masing terbelah dua. Bubungan atas (tongcid) seperti itu disebut yanbue atau ekor walet. Sepasang singa batu (cioqsar atau killin) di kiri-kanan memperkuat kesan sebagai bangunan persembahan.

Di tempat asalnya, bangunan seperti itu punya posisi istimewa dalam masyarakat. Pada masa akhir dinasti Qing di Tiongkok (1644-1911), berlaku ketentuan, ujung bubungan atap mirip ekor walet dan sepasang singa batu hanya boleh digunakan untuk bangunan pemerintahan dan keagamaan serta kediaman pejabat pemerintah. Rakyat biasa dilarang menggunakan simbol itu. Orang kebanyakan hanya diizinkan memakai bubungan atap bergaya pelana (bepeu), juga tanpa sepasang singa batu. Itulah yang menjelaskan mengapa di Indonesia, selain kelenteng, bangunan bergaya seperti rumah kongsi Oey Djie sangat langka.

Di Jakarta, gaya arsitektur seperti itu ada pada bangunan Candra Naya di Jalan Gajah Mada, Glodok, tapi sudah rusak. Ada juga di Jalan Kemurnian, yang dijadikan Gereja Santa Maria de Fatima, dan rumah bekas kediaman Lieutenant Souw Siauw Keng di Jalan Perniagaan. Sedangkan bangunan gaya Cina di berbagai tempat di Indonesia kebanyakan bergaya pelana.

Rumah Oey Djie bukan sekadar rumah pejabat Cina di zaman kolonial Belanda, tapi juga merupakan pusat pembukaan lahan kawasan sekitar. Keluarga Oey Djie mengelola kebun karet ratusan hektare. Daerah tersebut kini sudah menjadi kompleks perumahan hunian masyarakat menengah-bawah, yaitu Perumnas I, II, dan III Tangerang.

Sayang, rumah yang sudah tak terurus itu sejak awal Desember 2008 harus dipreteli dengan ultimatum dua bulan mesti bersih dibongkar, karena lahannya sudah dijual untuk dijadikan restoran cepat saji ala Amerika. Menurut Sekretaris Daerah Kota Tangerang Harry Mulya Zein, daerah tersebut berdasarkan rencana tata ruang wilayah memang diperuntukkan sebagai tempat perdagangan.

Arsitek Yori Antar menyayangkan tak dipertahankannya rumah kongsi Kapitan Oey Djie itu. ”Tangerang akan mengalami amnesia sejarah jika bangunan ini hilang,” katanya. Pakar bangunan tua yang ikut merancang kawasan Menteng, Jakarta, Adolf Heuken, juga turut bersedih. ”Seharusnya rumah ini masuk cagar budaya,” katanya dalam pertemuan yang digelar Warga Peduli Bangunan Tua pada pertengahan Desember lalu.

Namun Pemerintah Kota Tangerang mengaku tidak mengetahui bangunan tua itu termasuk situs bersejarah. Menurut Harry, seharusnya Pemerintah Kabupaten Tangerang atau Dinas Purbakala Provinsi Banten memberikan data dan dokumen, atau informasi, tentang status bangunan tersebut. ”Sehingga kami bisa mengkonservasinya, menganggarkan perawatan bangun-an,” kata Harry kepada koresponden Tempo di Tangerang, Ayu Cipta.

Karena pihak pemerintah lepas tangan, seorang peranakan Tionghoa Indonesia yang tinggal di London, Inggris—dia menolak disebut namanya—tertarik mengkonservasi rumah Oey Djie. Budi Lim, arsitek lulusan Universitas Oxford, Inggris, dimintai bantuan. Sebab, Budi dianggap berhasil mengkonservasi bangunan bekas istana Gubernur Jenderal Reinier de Klerk yang dibangun pada 1760 menjadi Gedung Arsip Nasional di Jalan Gajah Mada, Jakarta. ”Sebenarnya konsentrasi saya pada kawasan Kota Tua Jakarta, tapi saya terpanggil saat rumah Kapitan Cina di Tangerang tak mendapat perhatian sama sekali. Ibarat ada orang sedang diperkosa, saya harus membantu sebisa mungkin,” ujarnya.

Namun si pembeli sisa-sisa rumah itu hanya mampu membeli bangunan—tanahnya tidak. Itu pun, untuk melakukan konservasi, masih banyak bagian bangunan yang harus dikumpulkan dari banyak pihak. ”Pernak-pernik dan bagian penting bahan bangunan lain sudah berada di banyak orang. Bahkan ada yang tak bisa kami lacak keberadaannya,” kata Budi.

Di lapangan, Deni Sasmita, arsitek dari Kantor Arsitek Budi Lim, bersama rekan-rekannya setiap hari mulai pagi hingga pukul delapan malam menginventarisasi ornamen dan berbagai bagian dari bangunan tersebut. Tidak hanya mengukur bangunan dengan meteran digital, mereka menjaga detail dan mengumpulkan terakota lantai rumah itu. Menurut Deni, arsitek lulusan Universitas Tarumanagara, Jakarta, memindahkan bubungan atap itu harus ekstra-hati-hati untuk menghindari kerusakan.

Tugas tim yang sudah dua pekan bekerja ini, selain mendokumentasikan, memetakan, dan menginventarisasi bangunan, adalah mengumpulkan serpihan dan potongan benda yang tercecer. Semua kerja itu, menurut Deni, membutuhkan waktu cukup lama.

Pembeli baru bangunan ini, menurut Deni dan Budi, akan membangun kembali rumah itu dengan model dan kawasan yang sama, tak jauh dari tempat semula. ”Rumah yang bergaya Tionghoa akan tetap menghadap ke sungai. Namun sampai sekarang kami belum menemukan lokasi yang tepat. Tentu saja harga tanah seluas dua hektare tidak murah,” kata Budi.

Baik Budi maupun pemiliknya nanti akan membangun museum hidup dan pusat studi peranakan Tionghoa di tempat baru tersebut. ”Bahkan orang yang semula tinggal akan diundang kembali menempati rumah tersebut, agar rohnya tetap terjaga,” ujar Budi Lim.

Ahmad Taufik, tempointeraktif.com


Bangunan Cagar Budaya di Menteng Bakal Diperiksa

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI (Disparbud DKI) bertekad akan meningkatkan pengawasan terhadap bangunan-bangunan cagar budaya di DKI Jakarta. Sehingga, bangunan-bangunan yang memiliki nilai sejarah itu tidak berubah bentuk maupun berubah fungsi. Bahkan, Disparbud DKI juga berjanji akan segera menyambangi bangunan cagar budaya di Jl Teuku Umar No 42 dan 44, Menteng, Jakarta Pusat. Sebab, bangunan ini diketahui telah dipugar dan dikhawatirkan bisa menghilangkan gaya arsitektur aslinya.

"Melanggar atau tidak, nanti kita akan periksa. Baik ada atau tidaknya izin mendirikan bangunan (IMB), dan termasuk klasifikasi mana bangunan di Jalan Teuku Umar itu," kata Arie Budhiman, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI di Balaikota DKI, Jakarta, Selasa (10/2).

Jika bangunan itu masuk dalam klasifikasi A, tentu tidak boleh dipugar. Kalau ternyata hal itu ditemukan, maka pemilik bangunan tersebut telah melanggar surat keputusan (SK) Gubernur Kepala Daerah No D/IV/6098/d/33/1975 mengenai Penataan Kawasan Menteng serta Peraturan Daerah (Perda) No 9/1999 tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Lingkungan dan Bangunan Cagar Budaya. Demikian juga terhadap klasifikasi golongan B atau C, kendati dipugar hanya sebagian saja, dan tentunya tidak boleh dibongkar total.

Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam pidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 5 juta. Hal itu juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Pihak yang merusak benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya atau membawa, memindahkan, mengambil, mengubah bentuk atau warna, memugar, atau memisahkan benda cagar budaya tanpa izin dari pemerintah dipidana dengan penjara selama-lamanya 10 tahun dan denda maksimal Rp 100 juta. "Berikan kami waktu, kami akan periksa kebenaran perubahan bangunan tersebut," ujar dia.

Begitu juga dengan perizinannya. Jika dalam pemeriksaan itu ditemukan pemilik bangunan tidak memiliki IMB, maka akan segera dilaporkan ke Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) DKI. Sebab, mendirikan bangunan tanpa mengantongi IMB jelas menyalahi aturan. Kendati demikian, Diparbud tetap berprasangka positif. "Kalau dia sampai berani membangun, berarti dia sudah punya IMB," ujar dia.

Seperti diketahui, bangunan di Jl Tengku Umar No 42 dan 44, Menteng, Jakarta Pusat itu, kini menjadi bangunan bergaya arsitektur modern. Menurut salah seorang pekerja yang tak mau disebutkan namanya, pemugaran rumah mewah itu sudah berjalan selama tiga tahun. Bahkan menurut pengakuannya, pengerjaan pemugaran bangunan rumah itu telah berganti-ganti pemborong. Dan saat ini pengerjaannya dipegang PT Imesco.

Saat ini, pemugaran rumah mewah itu sudah mencapai 70 persen. Ironisnya, rumah yang awalnya dua kapling tersebut rencananya akan dijadikan satu bangunan. Sehingga perlu dilakukan pembongkaran besar-besaran untuk menyatukan dua rumah tersebut. Dari informasi yang diperoleh, rumah tersebut awalnya milik dua mantan tokoh nasional yang kemudian berpindah tangan kepada seorang pengusaha. Ironisnya lagi, dua rumah tersebut, lanjut sumber, masuk dalam katagori rumah cagar budaya, yaitu cagar budaya golongan B dan C.

Berubahnya bangunan cagar budaya di Jl Teuku Umar Nomor 42 dan 44 Menteng Jakarta Pusat ini, juga mendapat perhatian serius dari kalangan anggota dewan. Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, Sayogo Hendrosubroto, untuk mengubah bentuk fisik bangunan yang telah menjadi cagar budaya harus ada izin dari instansi terkait, yakni Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Dinas Tata Ruang, serta Dinas Pengawasan dan Pernertiban Bangunan (P2B). "Pada prinsipnya, bangunan yang telah jadi cagar budaya itu tidak boleh diubah dari bentuk aslinya. Kalau dilakukan, maka perubahan ini suatu bentuk pelanggaran," ujar Sayogo saat dihubungi via ponselnya, Senin (9/2).

Karenanya, ia meminta kepada pemilik bangunan tersebut agar segera mengembalikan bentuk gaya arsitekturnya seperti semula. Bahkan, Ketua Komisi D DPRD DKI itu menduga, jika bangunan itu merupakan bangunan cagar budaya, dan si pemilik berani melakukan pemugaran maka sudah bisa dipastikan pemugaran itu tidak memiliki IMB. "Jangan-jangan juga tidak ada IMB-nya. Kalaupun di sana ada papan kuningnya, pastikan apakah itu papan baru atau yang lama. Karena cagar budaya itu kan tidak boleh dipugar," tandasnya. Karena itu, dalam waktu dekat ini, ia berencana akan meninjau langsung ke lokasi.

Hal senada juga diungkapkan, Ketua Fraksi Kebangkitan Reformasi, Hasan Ishak. Ia mengaku sangat menyayangkan adanya pemugaran terhadap bangunan cagar budaya itu. Sebab, setiap bangunan cagar budaya tidak boleh diubah bentuknya menjadi bangunan dengan gaya arsitektur baru. Kalaupun ada pemugaran seharusnya tidak boleh menghilangkan bentuk aslinya. "Seharusnya pemilik bangunan itu berkonsultasi dulu dengan Dinas Parbud dan Tata Ruang, tidak asal main bongkar saja," kata Hasan Ishak. Sayangnya, hingga saat ini, pemilik bangunan di Jalan Teuku Umar No 42 dan 44 tersebut hingga saat ini belum bisa dimintai keterangan terkait perubahan bentuk bangunan cagar budaya tersebut.


Penulis: lenny

Sumber: lenny/nurito

Bangunan Cagar Budaya di Menteng Dibongkar Total

Sebagai kota yang penuh menyimpan sejarah, DKI Jakarta memiliki banyak bangunan cagar budaya. Sayangnya, bangunan-bangunan tua itu kurang mendapat perhatian. Buktinya, sejumlah bangunan di kawasan Menteng kini banyak beralih fungsi menjadi tempat usaha seperti salon kecantikan dan klinik kesehatan. Parahnya lagi, ada sejumlah bangunan yang telah berubah dari bentuk aslinya. Ironisnya, bangunan tersebut berdekatan dengan rumah Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo. Padahal, bangunan tersebut dilindungi surat keputusan (SK) Gubernur Kepala Daerah No D/IV/6098/d/33/1975 mengenai Penataan Kawasan Menteng serta Peraturan Daerah (Perda) No 9/1999 tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Lingkungan dan Bangunan Cagar Budaya.

Bangunan yang menghilangkan gaya arsitektur aslinya, salah satunya terdapat di Jl Tengku Umar No 42 dan 44, Menteng, Jakarta Pusat. Bangunan itu kini menjadi bangunan bergaya arsitektur modern. Menurut salah seorang pekerja yang tak mau disebutkan namanya, pemugaran rumah mewah itu sudah berjalan selama tiga tahun. Bahkan menurut pengakuannya, pengerjaan pemugaran bangunan rumah itu telah berganti-ganti pemborong. Dan saat ini pengerjaannya dipegang PT Imesco.

Berdasarkan pantauan beritajakarta.com, pemugaran rumah mewah itu sudah mencapai 70 persen. Ironisnya, rumah yang awalnya dua kapling tersebut rencananya akan dijadikan satu bangunan. Sehingga perlu dilakukan pembongkaran besar-besaran untuk menyatukan dua rumah tersebut. Dari informasi yang diperoleh, rumah tersebut awalnya milik dua mantan tokoh nasional yang kemudian berpindah tangan kepada seorang pengusaha. Ironisnya lagi, dua rumah tersebut, lanjut sumber, masuk dalam katagori rumah cagar budaya, yaitu cagar budaya golongan B dan C.

Ketika dikonfirmasi, Kasi Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) Kecamatan Menteng, Pupung menegaskan, bangunan yang sedang dipugar di Jl Tengku Umar No 42 dan 44 itu termasuk dalam bangunan cagar budaya, baik golongan B atau C. Meski demikian, pemugaran tersebut telah melalui pengawasan Sudin P2B Jakpus. Seharusnya, pemugaran bangunan cagar budaya harus mendapat izin dari Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan DKI dan rekomendasi dari gubernur. Sayangnya, sejauh ini Pupung tidak mengetahui apakah pemugaran dua bangunan itu telah mendapat izin atau belum.

Sementara itu, Camat Menteng, Efri mengatakan, di kawasan Menteng ada beberapa bangunan yang masuk dalam katagori A. Antara lain rumah dinas Wakil Presiden Jusuf Kalla, rumah dinas Duta Besar AS, Masjid Sunda Kelapa, Gedung Bappenas, Gereja GPIB Paulus. Untuk Golongan B lanjut Efri, banyak terdapat di Jl Diponegoro dan Jl Tengku Umar, Menteng, Jakarta Pusat. Sedangkan lainnya, rata-rata rumah yang berada di Menteng banyak masuk dalam katagori C dan D. "Kalau kita hitung jumlahnya banyak sekali," jelas Efri, Kamis (5/2) sore.

Arya Abieta, pemerhati bangunan tua dari Pusat Dokumentasi Arsitektur Indonesia, mengatakan, bangunan yang masuk dalam kategori cagar budaya dilindungi secara hukum, termasuk rumah-rumah yang berada di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Ia menuturkan, rumah cagar budaya di kawasan Menteng dibagi menjadi tiga kategori, yakni golongan A, dengan ketentuan bangunan seluruh bagian rumah tidak boleh diubah dari bentuk aslinya, apalagi dibongkar. Golongan B, bangunan boleh dibongkar tapi bagian badan utama, struktur utama tidak boleh diubah. Sedangkan golongan C, bangunan boleh diubah atau dibangun baru, namun dalam perubahan itu harus disesuaikan dengan pola bangunan sekitarnya atau mengikuti bentuk asli di lingkungan sekitarnya.

Ditambahkan Arya, pertimbangan rumah cagar budaya berdasarkan dari nilai historis, umur, keaslian, kelangkaan, dan arsitektur bangunan. “Jadi apu pun alasannya, pemugaran total terhadap bangunan cagar budaya tidak dibenarkan. Kalau ada yang melanggar ditindak sesuai ketentuan yang berlaku,” tegasnya.

273 Bangunan Dilindungi
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI, Arie Budiman, menyatakan di DKI Jakarta terdapat 273 bangunan cagar budaya (BCB) yang dilindungi. Saat ini, Arie sedang menginventarisir dari aspek fisik sejumlah bangunan cagar budaya yang mengalami kerusakan ringan, sedang, dan tinggi. “Memang ada bangunan cagar budaya yang mengalami kerusakan dan butuh direnovasi,” katanya di Balaikota DKI, Kamis (5/2). Data sudah ada, tetapi Arie belum bisa mengungkapkannya secara menditail karena jumlahnya cukup banyak.

Terkait masalah pengelolaan dan pengawasannya terhadap bangunan cagar budaya, Arie menjelaskan, memerlukan penanganan yang serius dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI. Sebab, dia tidak mau mengurangi resiko degradasi bahkan kehilangan cagar budaya yang menjadi bagian dari sejarah kota Jakarta. Dan jika dilihat dari perspektif pariwisata, bangunan cagar budaya merupakan situs yang menjadi daya tarik kota ini. “Kalau kondisinya tidak memungkinkan, harus segera diperbaiki. Kemudian dipantau keberadaannya,” ujarnya.

Mengenai bangunan cagar budaya yang dialihfungsikan menjadi tempat usaha seperti restoran, galeri atau butik, menurutnya merupakan hal yang wajar. Namun Arie menegaskan bukan berarti si pemilik bebas melakukan perubahan-perubahan terhadap bangunan bersejarah tersebut. Para pemilik harus mengetahui masuk dalam kategori apa bangunan cagar budaya yang mereka miliki. Dalam Perda No 9 tahun 1999 tentang Ketentuan Pelestarian dan Pemanfaatan Bangunan-bangunan Cagar Budaya di DKI Jakarta, ada tiga klasifikasi, yaitu golongan A merupakan bangunan yang memenuhi kriteria nilai sejarah dan keaslian, golongan B yakni bangunan yang memenuhi kriteria keaslian, kelangkaan, landmark, arsitektur, dan umur. Serta golongan C adalah bangunan yang memenuhi kriteria umur dan arsitektur.

Bangunan cagar budaya golongan A dilarang dibongkar dan atau diubah. Tetapi apabila kondisi fisik bangunan buruk, roboh, terbakar, atau tidak layak tegak dapat dilakukan pembongkaran untuk dibangun kembali sama seperti semula sesuai dengan aslinya. Pemeliharaan dan perawatan bangunan harus menggunakan bahan yang sama/sejenis atau memiliki karakter yang sama dengan mempertahankan detail ornamen bangunan yang telah ada. Di dalam persil atau lahan bangunan cagar budaya dimungkinkan adanya bangunan tambahan yang menjadi satu kesatuan utuh dengan bangunan utama. Golongan B, pemeliharaan dan perawatan bangunan harus dilakukan tanpa mengubah pola tampak depan, atap dan warna, serta dengan mempertahankan detail dan ornamen bangunan yang penting. Sedangkan Golongan C, detail ornamen dan bahan bangunan disesuaikan dengan arsitektur bangunan di sekitarnya dalam keserasian lingkungan.

Penambahan bangunan di dalam perpetakan atau persil hanya dapat dilakukan di belakang bangunan cagar budaya yang harus sesuai dengan arsitektur bangunan cagar budaya dalam keserasian lingkungan. Ketiga kelas ini, dalam upaya revitalisasi dimungkinkan adanya penyesuaian dan perubahan fungsi sesuai rencana kota yang berlaku tanpa mengubah bentuk bangunan aslinya. Karena itu, perubahan fungsi tetap harus dilaporkan kepada Pemprov DKI Jakarta dengan tetap memperhatikan kelestarian bangunan atau bangunan-bangunan tersebut. Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam pidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 5 juta.

Terhadap perbuatan yang dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana terhadap pelestarian dan pemanfaatan lingkungan dan bangunan cagar budaya diancam pidana. Hal ini diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Pihak yang merusak benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya atau membawa, memindahkan, mengambil, mengubah bentuk atau warna, memugar, atau memisahkan benda cagar budaya tanpa izin dari pemerintah dipidana dengan penjara selama-lamanya 10 tahun dan denda maksimal Rp 100 juta. “Jadi sanksinya adalah denda atau hukuman penjara. Kalau penyegelan atau penutupan bukan tugas kami. Tetapi mungkin Dinas P2B,” terang Arie. Sayangnya, ketika dimintai keterangan adanya pemugaran bangunan cagar budaya di Jl Tengku Umar No 42 dan 44, mantan Kepala Biro Humas dan Protokol DKI ini mengaku belum tahu dan berjanji akan segera mengeceknya. "Saya belum tahu, nanti akan saya cek," ujarnya singkat.

Secara terpisah, anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta, Ahmad Husin Alaydrus menegaskan, setiap terjadi pemugaran terhadap cagar budaya maka hal itu merupakan bentuk pelanggaran. Karena seluruh cagar budaya di wilayah ibukota, dilindungi oleh peraturan perundang-undangan yakni Perda No 9 tahun 1999 tentang Ketentuan Pelestarian dan Pemanfaatan Bangunan-bangunan Cagar Budaya di DKI Jakarta. “Cagar budaya itu harus dilestarikan, tidak boleh ada perubahan. Kalau ada perubahan pemiliknya harus diberi sanksi berat,” ujar Alaydrus.

Menurutnya, di DKI sudah banyak terjadi perubahan pada cagar budaya, seperti di kawasan Menteng. Demikian halnya di Kota Tua, perubahan yang terjadi telah menyalahi peraturan perundang-undangan.

Hal senada ditandaskan Wakil Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, Muhayar. Menurutnya, setiap akan ada perubahan atau pemugaran pada cagar budaya, tentu harus mendapatkan persetujuan dan sepengetahuan dewan. “Pemugaran bangunan bersejarah atau cagar budaya, harus mendapatkan persetujuan dewan. Jika tidak, maka itu pelanggaran,” terangnya.

Dijelaskan Muhayar, tata ruang itu mengatur tentang penggunaan dan pemanfaatan ruang dengan maksimal sehingga kondisi lingkungan di sekitar terpelihara dengan baik. Artinya, suatu ruang itu diposisikan mengatur satu bangunan atau tempat dengan menyejajarkan keseimbangan tata ruang sehingga menjadi indah.



Penulis: lenny

Sumber: /nurito/didit

 
Powered By Blogger | Portal Design By Trik-tips Blog © 2009 | Resolution: 1024x768px | Best View: Firefox | Top